foto kepala

Translate

Minggu, 23 Oktober 2016

Surat Untuk Ustad/zah, Guru serta Para Dosen


         Saya dulu tidak bisa baca Quran, huruf gundul, apa itu tajwid, kalau dulu saya tidak di suruh ngaji ke ustad-ustad/zah saya selagi kecil hingga beranjak dewasa oleh orang tua saya, mungkin saat ini saya tidak mendoakan orang tua saya yang sudah meninggal, mungkin saya tidak bisa sholat karena tidak tau caranya, atas kebaikan para ustad/zah saya dulu baik yg masih hidup maupun yang sudah meninggal, saya bisa baca Quran, saya tau bagaimana caranya berdoa untuk orang tua, saya tau harus bagaimana bersikap terhadap orang tua, hanya dengan bayaran ala kadarnya saat itu, Rp.20.000/bulan itupun seikhlasnya, ada yg kurang dari itu diterima, ada yg tidak bayar juga gak apa-apa, ada yg ngasih lebih ya itu rejekinya Ustad, dalam setahun artinya 20.000x12=240.000, saya sudah bisa baca quran, sudah tau cara sholat, diajarkan sopan santun, sekali lagi, hanya dengan 240rb setahun, apalah artinya disbanding dg saya yang akhirnya bisa baca quran, saya jadi bisa mendoakan orang tua saya yg sudah meninggal, 240rb setahun saya akhirnya bisa sholat, setiap ada masalah, saya mengadu pada Tuhan di atas sajadah saya, apa jadinya jika saya tidak bisa sholat? Kemana dan dengan cara apa saya mengadu permasalahan saya? Dengan apa saya dapat ketenteraman batin? Sekarang….saya berfikir, 240rb setahun, anggaplag ada 10 santri, hanya dapat 2,4 juta setahun, apa yg ustad/zah dapatkan? Cukup untuk apa? Mohon maaf, penghasilan orangtua saya lebih dari 2,4 juta perbulan saat itu, sementara ustad hanya 2,4 juta setahun, kalau dipikir-pikir…apa untungnya jadi ustad? Saya bicara nominal dan untung rugi karena selama ini itulah yg saya pelajari. Dalam hal ini ustad juga pakai untung dan rugi tapi dalam definisi yang berbeda, bagi saya uang dan bagi para ustad adalah berkah. Dengan sabar Ustad mendidik kami, kami yang anak-anak, nakal, masih senang main, namun ustad sangat sabar, diberikannya ilmu Cuma-Cuma, iya Cuma-Cuma, apa arti 20.000 sebulan dibandingkan dengan ilmu yang diberikan? Jelas tidak sebanding. Tapi ustad mencari peruntungan kepada Allah saja. Itung-itungannya bukan Cuma uang saja, tapi keberkahan.
       Kalau dipikir sama logika sekarang, gimana itu bisa? Ustad komplek yg penghasilannya 2,4 juta saja pertahun, tapi akhirnya bisa menyekolahkan anak-anaknya, itulah yg namanya berkah, rumahnya juga berkah karena setiap malam menjadi tempat menuntut ilmu dimana para malaikat turun ikut mendoakan. Saya begitu hormat kepada para guru ngaji saya, terimakasih atas ilmu yang sudah diberikan, mohon maaf atas segala kenakalan selama mengaji dulu, moga seluruh guru ngaji saya diberkahi oleh Allah, dan bagi yang sudah meninggal moga ilmunya menjadi amal jariah dan diampuni segala dosan serta diberikan balasan surge, amin.
Begitupun saya tidak bisa baca tulis dan berhitung jika tidak ada guru-guru saya semasa SD, SMP, SMA, apa jadinya saya sekarang kalau saya tidak bisa baca tulis berhitung? Mungkin saya sudah dibohongin orang terus, mungkin saya akan banyak kesusahan. Di sekolah juga menjadi tempat pertama saya tau apa itu sosialisi, apa itu arti teman, banyak jasa guru-guru saya, yang mungkin tidak sebanding dengan penghasilan mereka saat itu, gaji guru dikebiri, itu bukan lelucon, itu sungguhan. Anak guru tidak selesai sekolah, itu bukan lelucon, itu sungguhan. Saat itu, guru belum di apresiasi dengan layak oleh pemerintah, tapi guru jaman dulu adalah sebenar-benarnya guru, mereka menjadi guru karena panggilan jiwa, bukan panggilan sertifikasi hahaha, tau kan maksudnya???

     Pun begitu juga dengan para dosen-dosen saya semasa kuliah, bukan Cuma ilmu yang sifatnya ilmiah yang diberikan, banyak hal diluar itu yang diberikan, mengajarkan arti hidup, kebijaksanaan, pelajaran hidup. Luar biasa mereka, seperti padi, makin berisi makin merunduk, hormat saya kepada para dosen-dosen saya. Terimakasih telah dengan sabar hingga akhrinya mengantarkan kami ke kelulusan dan wisuda. Kalau bukan karena kebaikan hati dosen-dosen saya (selain  rahmat dari Allah), mungkin saya tidak seperti ini sekarang, saya banyak belajar dari para dosen-dosen saya dalam bersikap, dalam bertindak, dalam menyikapi kehidupan. Jauuuuuhhhh untuk bisa seperti mereka yang sangat luar biasa. Hanya doa yang bisa saya sematkan sebagai bakti saya, semoga Allah memberikan barokahnya kepada para dosen-saya, keberkahan ilmu, umur dan iman. Bahagia dunia dan akhirat, saya tidak sanggup membalas segala ilmu, kesabaran, kebaikan hati para dosen saya, biarlah Allah yang membalas. Saya sangat bahagia dan berterimakasih pernah menjadi bagian dalam kelas, pernah bertatap muka, pernah mendapatkan ilmu, pernah dibimbing, pernah mengalami semuanya. Semoga Allah meberikan kami semua hidup yang bermanfaat, karena sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya dan makhluk Allah lainnya. Amin.

Kamis, 08 September 2016

SAYA SESAT


Galau... bimbang.

Sayang sekali saya kuliah agribisnis. Mungkin kalau ada kesempatan saya ingin kuliah filsafat atau psikologi, mungkin saya akan mendapatkan jawaban-jawaban atas segala yg terjadi dalam kehidupan. Di dalam keluarga saya, mungkin hanya saya dan alm ayah saya yg kata orang 'nyleneh' tapi buat saya kita berdua itu out of the box alias anti mainstream. Sayang ayah saya meninggal disaat saya masih buta atas dunia sehingga kita tidak pernah bertukar pikiran.

Masa remaja dan dewasa saya di bawah didikan mamah yg notabene seperti orang pada umumnya, jalan di tracknya, lempeng-lempeng aja, ngikut aja apa kata orang pada umumnya, buat saya itu membosankan. Ada kalanya kita harus berbeda dg orang lain jika kita yakin kita benar. Kenapa harus selalu on track jika kita tau ada jalan lain menuju Roma? Hanya karena ingin dibilang waras?

Ada banyak pemikiran-pemikiran saya yang orang sekitar saya tidak mengerti, mereka namakan "sesat cara berfikir" tidak ada satu pihak pun setuju dg pemikiran-pemikiran saya. Sehingga lambat laun saya mulai berfikir maybe they are right. Something wrong in me, saya nyleneh. Saya tidak serta merta diam. Kami mengunjungi ustad, berkonsultasi, hampir sama, ustad pun tidak bisa mengerti jalan pikiran saya, saya ingin berkonsultasi dg kyai, tapi bukan yg seumur hidupnya hanya di pesantren tanpa tau dunia luar. Tapi belum ada kesempatan, saya hanya sempat mengikuti kajian-kajian para kyiai yg bergelar doktor, dan saya terperangah, mereka ternyata open minded, tidak kaku dalam berfikir. Apa-apa yg mereka sampaikan, itu cocok dg pemikiran saya. Mereka bukan bicara pakem-pakem, adat atau tradisi turun temurun yg harus dipatuhi dan tabu bila dilanggar. Well...saya sedikit bahagia bahwa saya bukan nyleneh, bahwa ada orang yg berfikiran seperti saya. Berarti saya waras.

Namun sayangnya saya tidak tinggal dg kyiai yg alim (ilmu dunia maupun agamanya) yang open minded itu, faktanya saya tinggal dg keluarga yg hidup berdasarkan pakem-pakem tradisi yg berlaku di Indonesia, sehingga tetap saja saya tergolong orang 'sesat' diantara mereka. Saya tidak sesat...mungkin kalian yg tidak mengerti saya, yg tidak bisa melihat perbedaan. Saya pun kembali menjadi orang sesat.

Hingga di hari ini saya bertemu dg dokter jiwa. Saya ceritakan siapa saya. Satu hal penting menjadi kunci dalam hidup adalah mengenali diri sendiri. Dari hasil tes jiwa dikatakan saya tidak bisa komitmen dengan aturan-aturan yg ada. Saya jelaskan itu benar. Ada satu pernyataan dalam tes :

Anda merasa lebih bahagia jika aturan-aturan dihilangkan

Jawabannya hanya (-) atau (+). Minus artinya bukan saya banget, dan plus artinya saya banget (setuju), pertanyaan ini kerap muncul di psikotest. Dulu saya selalu menjawab (-) artinya aturan memang harus ada. Hidup itu memang ada aturannya. Pertanyaan ini tidak jelas, aturan yg mana? Yg prinsip? Tradisi? Kali ini saya beranikan menjawab (+) artiny saya banget, tapi ada tanda *). Aturan apa? Jujur saya muak dg aturan yg dibuat manusia tanpa tujuan yg jelas, atau tradisi-tradisi yg tidak masuk akal, atau pakem dan dogma yg dipaksakan harus diterima seperti : perempuan tidak boleh diri di pintu, why? Perempuan tugasnya ngurus keluarga, nyuci, nyapu, masak dll adalah tugas mutlak wanita, why? Dimana itu aturan ditulis? Siapa yg bilang? Lantas lelaki kerja cuma cari duit? Atau kita sholat harus selalu di masjid/mushola/rumah. Lantas ketika saya sholat di jalan yg tidak mengganggu orang lain, kemudian itu salah? Atau saya harus pakai sepatu hitam saat bekerja/sekolah tanpa alasan yg jelas, hanya disebut sebagai 'itu aturannya!'. Ketika saya pakai pink dan itu membuat saya lebih percaya diri sehingga kerja lebih semangat, apa saya salah? Atau aturan tidak boleh makan minum selama kuliah? Well...honestly saya membolehkan itu di kelas saya, apalagi kelas pagi. Mungkin ada yg belum sarapan. Gimana mau fokus kalau perut kosong? Saya juga tidak protes jika mereka pakai sendal di kelas saya. Itu tidak penting. Hal-hal seperti itu dianggap orang umumnya melanggar? Kenapa? Kalau mereka memalsukan tanda tangan, tidak mengerjakan tugas yg saya berikan, itu bagi saya pelanggaran. Tapi baju, kostum, selama itu sopan, tidak mengganggu pelajaran dan bukan esensial, why not? Tanya dosen-dosen senior jaman dulu. Apa dijaman mereka ada aturan berbusana ke kampus? Pake sendal tidak boleh? Saya dengar dengan telinga saya sendiri, salah satu dosen senior saya yg merupakan orang berpengaruh di kampus, di jamannya tidak ada aturan itu. So...baik/tidak baik, sopan/tidak sopan menjadi sangat relatif.

Di Australia, ada anak sekolah diwarnain rambutnya (kebetulan murid mama saya pernah tinggal di aussie, dia yg cerita ini) tapi apa kata gurunya? Awesome, nice! Coba disini? Kalau gak dibilang sarab, cabe-cabean, gendeng, alay, tidak tau aturan. Saya punya teman seorang guru matematika di Canada, dia cerdas tapi dia bertattoo, saya tanya apa itu tidak mengganggu/merusak kredibilitas dia sebagai pengajar? Tidak menjadi masalah? Dia balik bertanya, apa masalahnya? (Terlepas dr aturan agama Islam). So ... sopan/tidak sopan sangat relatif dan menjadi tergantung jaman. Itulah yg saya maksud saya muak dengan aturan, dogma, tradisi yg sama sekali bukan esensi, bukan fatal. Itulah yg saya katakan pada dokter bahwa benar saya tidak suka berkomitmen dengan aturan seperti itu, dan karena itulah saya dikatakan sesat. Saya akui ada hal yg saya ketahui benar dalam agama tapi belum saya jalankan dan saya tau itu berdosa. Saya akan berproses untuk itu dengan kerelaan saya akan melakukannya. Tapi hal-h yang dimana agama tidak mengatur dan hanya menjadi tradisi, dogma yg berlaku di masyarakat, jika itu tidak sesuai dg hati nurani, saya tidak akan pernah mau melakukannya. Terserah saya dianggap sesat.

Hal-hal semacam itu tidak bisa diterima oleh keluarga saya, lingkungan sekitar saya. Sehingga kadang saya terpaksa menjadi orang lain agar hanya di angggap saya sama seperti mereka. Dan ini sungguh menyiksa, berpura-pura, padahal saya tidak suka. Tidak ada yg mengerti jalan pikiran saya, membuat saya frustasi, dan akhirnya menyerah sehingga saya mulai menilai diri saya sesat adanya. Hingga saya bertemu dokter jiwa hari ini. Saya lega bisa jujur, saya merelakan beliau menilai saya sesat, karena beliau ahlinya, jika beliau katakan saya abnormal, saya bisa apa? tapi ternyata tidak, saya menemukan orang ahli jiwa yg sepemikiran dg saya, bahkan jauh out of the box dari saya. Well...saya tidak sesat, come on... ini ada spesialis jiwa yg bisa membenarkan pemikiran saya. Ini membuat saya tenang. Bahkan masalah spiritual yg hanya kita dg Tuhan yg tau, beliau ajarkan pada saya, dan saya sangat sependapat. Thank God, pada akhirnya ada yg benar-benar mengerti pemikiran saya.

Tiba saya di rumah. Kembali dg keluarga. Saya ceritakan pengalaman saya, kembali mereka tidak sepemikiran. Saya kembali ragu, jangan-jangan dokter tadi hanya membesarkan hati saya? Jangan-jangan dalam hati kecilnya beliau berprasangka sama, bahwa saya sesat? Ini suudzon. Saya berdosa berfikiran buruk. Tidak! Saya tidak sesat. Saya punya bukti bahwa score saya adalah 6 masuk dalam kondisi sedang. Artinya tidak ada yg salah dg jiwa saya. Tidak ada yg salah dg cara berfikir saya. Saya pinjam kata-kata Ahmad Dhani "kalian cuma belom sampe pemikirannya di level saya" hehe

Kamis, 01 September 2016

KAPAN NIKAH ???



Kapan nikah??? Pertanyaan yang udah sering di tanyain ke gw yg notabene udah lewat batas seharusnya bagi wanita Indonesia, mungkin kalau di LN umur se gw masih ranum ranumnya, kalau di sini udah out of date haha. Trus gimana menyikapi kondisi wanita matang yg belum nenikah juga terhadap komentar komentar sekitar? Ini sih menurut pendapat gw ya, selaku yg ngalamin. Sebelum gw berbagi apa pendapat gw, gw mau cerita sedikit.

Tadi gw liat curhatannya para wanita matang, ada saran dari psikolog juga. Intinya katanya gak usah nanya ke wanita matang "kapan nikah" tanya aja hal lain yang bisa di tanya. Karena ada banyak faktor dan alasan kenapa kita belum juga menikah sampai di usia sematang ini. Dan karena setiap wanita itu beda-beda karakter. Ada yg baper, terlalu sensitif, ada juga yg cuek. Dikhawatirkan pertanyaan yg simpe ini, cuma "kapan nikah?" Di terima sangat nancep di hati, akhirnya tanpa di sadari penanya, itu melukai perasaan yang di tanya. Padahal bisa jadi yg nanya gak bermaksud apa-apa.

Kalau buat gw sendiri, menanggapinya santai aja. Banyak banget yg nanya sama gw... kapan nikah? Kapan nikah? Kapan nikah? Mulai dari temen, keluarga sampai yg baru kenal sepintas. Mulai dari ekspresi yg nanya kepo, nanya nyinyir ataupun nanya basa-basi. Buat gw... orang nanya itu ada 3 tipe, ada yg nanya cuma asbun aja (basa-basi) ada yg nanya bener-bener kepo, ada yg nanya karena nyinyir. Nah kalau yg nanya basa-basi artinya mereka gak butuh jawaban serius, gw sih jawabnya senyumin aja atau jawab basa-basi lagi "belum ketemu nih, cariin dong"

Nah kalau jawab sama yg kepo, yg bener-bener pengen tau kapan kita nikah, gw sih mau ketawa aja...ketawa bingung, karena gak bisa jawabnya. Kalau bunda Maia Estianti ditanya kapan nikah? Dia jawabnya "Lo kapan mati?" Karena menurut bunda jodoh, rejeki dan kematian di Tangan Allah, misteri Ilahi. Kalau gw gak segitunya ngejawabnya. Sadis bener nanya kapan mati? Meneketehe hehehe. Paling gw bilang "doain aja ya secepatnya"

Nah kalau jawab dari orang yg nanya tapi sebetulnya dia rada nyinyir entah seneng liat kita gak nikah-nikah juga atau bahagia karena dia "laku" duluan, yg model begini jawabannya "nunggu suami kamu jadi duda" wkwkwkwkwk.... becandaaaaa.... yg model gini bilangnya gini aja "pokoknya pasti dikabarin deh, nanti pasti dapet undangannya" udah gitu aja. Gak usah baper atau sakit hati apalagi ngelarang-ngelarang orang nanya. Apapun niat di dalam hatinya, biarin aja mereka nanya. Artinya mereka cukup punya perhatian. Santai aja. Nggak usah ngerasa kaya di udag -udag (dikerjar-kejar) dengan pertanyaan "kapan nikah?". Pegel dengernya? Bosen dengernya? Biarin aja, justru dengan banyak yg nanya, itu bagai alarm buat diri sendiri bahwa jangan ke asikan sendirian. Karena gw kadang gitu, ngerasa apa-apa biasa dan bisa sendiri (kecuali bereproduksi), jadinya pernikahan itu bukan hal yg dibutuhkan banget, ke enakan mandiri jadi lupa kalau kita itu perlu punya keturunan, supaya manusia itu tidak punah.

Jadi santai aja nanggepinnya. Mereka tidak di posisi kita jadi mereka ga tau apa yg kita rasain, kalau gak tau kan artinya harus dimaklumi. Nah...kalau temen biasanya nanya cuma buat basa-basi. Kalau yg rada kepo itu biasanya temen-temen nyokap atau keluarga besar, kepo banget pengen tau kenapa sih gak nikah-nikah? Whats wrong, mungkin mereka mau bantu. Nah kalau yg nanya nyinyir biasanya temen yg bukan bener-bener teman, atau yg ngerasa kita ini saingan dia, mungkin suaminya agak menaruh perhatian lebih ke kita, takut kali suaminya di gaet, atau dia merasa dia juara dalam segala hal. Entahlah. Yg jelas gw sih santai aja.

Alasan gw pribadi kenapa belum juga nikah. Ada hal yg datangnya dari luar dan dalam. Dari dalam diri gw itu karena terlalu seringnya hubungan gw berakhir gak enak, ditinggalin, sehingga itu bikin gw taro jarak sama cowok dan agak gak percaya sama komitmen karena gw takut di tinggal lagi. Akibatnya gw jadi dingin, kalau dulu untuk menumbuhkan rasa suka trus cinta itu gampang, bisa hitungan hari. Tapi kalau sekarang banyak pertimbangan, akhirnya jadi lupa gimana caranya mulai suka sama orang lagi. Dan jadi gak mudah fall in love. Banyak yg bilang gw pilih-pilih. Malahan ada temen nyokap (masih keluarga jauh) yang sempet ngejodohin gw sama keluarganya, tapi gw menutup akses untuk bisa mengenal gw lebih dekat, karena gw gak tertarik. Akhirnya keluar kata-kata yg gak enak di sampaika  ke nyokap gw, nyokap bilang ke gw "anaknya gak pernah di kasih tau ya... jangan terlalu pilih-pilih" nah ini nih kesotoyan tingkat dewa. Pilih-pilih??? Asal tau aja, gw pernah jadian cukup lama sama cowok yg pendidikannya di bawah gw, kerjaannya serabutan, tampang di bawah standart, item, knowledge kosong melompong. Tapi gw serius sama dia. Pernah juga mantan gw adalah duda dengan anak 3, cuma lulusan SMA, cuma duitnya banyak dan ganteng wkwkwkwk, yg terakhir itu sama cowok yg semua yg jelek-jelek deh ada sama dia, pendidikan gak punya, egois tingkat dewa, maunya di bayarin, gak punya kerjaan, gak punya sikap sebagai pelindung, gak berpikiran maju, kurang menghargai wanita, dll (entar gw malah dibilang buka air orang) gw cuma mau nunjukin, sama orang seperti itu aja gw mau, artinya kan gw gak pilih-pilih. Trus kenapa gak nikah sama dia? ada hal yg gw ga bisa toleransi lagi. Karena nikahkan bukan cuma faktor cinta tapi logika harus jalan. Jujur gw gak cinta sama dia, kenapa mau jalanin hubungan? Tadinya gw pikir gw akan bisa nerima segala kekurangan dia. Klu cinta sih engga, misal nih ada orang jahat mau bunuh salah satu di antara kita... gw akan bilang "bunuh dia aja deh, gw masih mau hidup" haha... klu cinta pasti bilang "bunuh aku saja, biarkan dia hidup" India bangettt.

Santai ajalah...semua ada waktunya, dan tanggapi santai aja orang-orang yg nanya kapan nikah, thats just a question and not all questions need an answer, isnt it??

Sabtu, 27 Agustus 2016

Surat Untuk Tuhan #Mama



Ya Tuhanku, Ya Rabku, kiranya aku jarang meminta padamu ya Allah, bukan karena aku sombong, bukan, tetapi karena tidak banyak yang aku inginkan di dunia ini. Tapi kali ini ya Tuhanku, Engkau yang dekat denganku sedekat pembuluh nadiku, sedekat ombak dan pantai, sedekat angina dan gemuruh, ijinkanlah aku memohon padaMu kali ini. Aku memohon, bukan lagi meminta, aku sangat berharap Engkau mengabulkan. Selama hidupku… hanya hal-hal terpenting saja yang ku minta padaMu, dan bagiku banyak hal yang tidak penting di dunia ini, sehingga tidak banyak yang aku pinta. Tapi permohonanku kali ini adalah permohon terbesar sepanjang hidupku, yang dapat aku katakan adalah tujuan hidup aku di dunia ini sebagai hamba sekaligus makhluk. Engkau sudah memberiku apa yang aku pinta dan apa yang tidak aku pinta, Islam, Iman, kesehatan, kesempurnaan raga, pendidikan, pekerjaan, pertemanan, tapi ijinkan aku meminta lebih lagi. Aku hanya ingin ini, jika permintaanku yang lainnya dapatlah Kau abaikan atau tangguhkan, tapi aku mohon tidak yang ini :
 


Orangtuaku tinggal satu, Engkau sangat tau bagaimana hubunganku dengannya, bagaimana egonya dan egoku sama tingginya, bagaimana kita banyak berbeda pendapat, bagaimana kita keras mempertahankan pendapat, bagaimana kita memaksakan kehendak satu sama lain. Selalu dalam pikiranku ingin memperbaiki pemikiran-pemikirannya yang keliru, namun kadang dengan cara yang salah dan kadang ego masing-masing sehingga tidak bisa di luruskan. Sehingga aku berfikir, anggaplah mamaku bersalah di mataku, namun apa untungnya aku menentangnya? Jika aku menang dalam menentangnya, aku akan menjadi arang, karena dia ibuku, walaupun aku menang tapi yang ku lawan adalah ibuku, percuma aku menang, tapi bila aku kalah dan dia yang menang, memang aku menjadi debu, tapi tidakkah itu lebih baik? Inilah doaku “Ya Allah, lunakkanlah hatiku, agar aku bisa menerima segala perbedaan pemikiran, dan tingginya egoisme ibuku, lunakkan hatiku untuk bisa menerimanya, dan berikan hati seluar samudra untuk selalu bisa memaafkannya, serta buatlah hatiku ini memiliki rasa cinta dan sayang yang besar kepada ibuku, berikan juga dia rasa sayang yang besar kepadaku, dan jadikanlah aku anak yang berguna baginya dan menjadi kebanggaannya” itu saja ya Allah. Karena ibukulah yang satu-satunya yang berharga yang aku miliki, aku tidak ingin menyesal sepanjang hidupku karena tidak pernah menyayanginya atau tidak berguna baginya. Engkau telah mengambil Ayahku sebelum aku berguna baginya, sebelum aku menunjukkan rasa sayangku padanya, sebelum ia tau bahwa aku menyayanginya. Semua sudah terlambat. Aku tidak ingin ini terjadi untuk kedua kalinya. Tuhanku yang maha pengasih dan penyayang, tunjukkanlah rasa kasihMu padaku dengan mengabulkan doaku ini, sungguh aku tidak ingin yang lain. Kelak saat ajalku tiba, aku bisa tersenyum mengingat bahwa aku telah disayangi dan berguna bagi satu orang perempuan, yaitu ibuku. Satu orang tapi berarti segalanya bagiku.

Aku tidak khawatir dengan hal yang lain, karir, uang, pendamping hidup, semua akan aku terima dan jalani mengikuti arah angin, nasib dan takdirku. Itu semua bisa aku usahakan. Karena nasib bahkan takdir selalu punya kesempatan untuk di rubah, tapi untuk melunakkan hati, menyadari bahwa ibu adalah segalanya sangat susah jika engkat tidak bergerak memberi hidayah dan tidak melunakkan hati ini, Engkaulah yang mampu merubah doaku, dan aku percaya, kali ini Engkau akan mendengar dan mengabulkan lagi doaku ini seperti doaku sebelumnya yang meminta agar engkau menyirami hatiku untuk selalu menikmati sholatku, yang selama ini aku lewati dengan tergesa-gesa tanpa rasa. Tapi Engkau kabulkan doa ku, engkau hadirkan rasa nikmatnya sholat walau tidak selalu tapi setidaknya aku sering merasakan nikmatnya akhir-akhir ini, bukan lagi bagian yang membosankan dan membuatku tergesa-gesa untuk menyelesaikannya. Aku percaya…. Engkau selalu mendengar doaku, Engkau selalu berkata bahwa Engkau senang pada hambanya yang meminta. Maka kali ini aku meminta padaMu, memohon agar Engkau sudi mengabulkannya. Amiin 

Senin, 22 Agustus 2016

Banyak Toleran bukan Berarti Bisa Di Injek

Gw orangnya santai banget, asli santai banget, di kasih jam pagi/siang banget mangga, pengajar yg lain di jarkom gw engga ora opo2, honor bahkan gak jelas gpp, dipandang sebelah mata santai aja. Tapi klu gw udah bilang gak bisa trus dikasih jadwal tanpa konfirmasi lagi itu kan namanya gak menghargai, jelaslah gw tegas. Ada kalanya boleh nari2 di atas kepala gw tapi jangan sekali2 nginjek kepala. Ke mahasiswa juga gw santai banget, gw ngebolehin mereka makan dan minum saat kuliah pagi bagi yg gak sempet sarapan, meskipun gw juga sering melewatkan sarapan, meskipun gw di tegor dosen lain krn mengijinkan mereka makan saat kuliah, biar aja, kalau dengan makan mereka lebih paham, happy kenapa engga? Yy penting gak nyampah. Lah kalau pingsan di kelas? Gara2 blm makan, gw juga yg repot. Makan, minum saat belajar sah sah aja lah, asal jangab pas sholat. Pake kaos oblong, pake sendal apalah apalah silahkan ajalah. Ijin silahkan. Tapi klu kelewatan juga gw ga bisa toleran, kaya waktu itu tiba2 kelas kosong dan semua mahasiswa rapat dan ijin sejam setelah jadwal kuliah hanya by WA, jelaslah gw ngamuk. Dikiranya gw santai bisa seenak jidat. Tapi setelah mereka minta maaf ya kelar. Yg dapet A tetep gw kasih A, gak ada tuh gw ngurangin nilai krn kekesalan gw, meskipun attitude&kehadiran itu masuk ke penilaian. Sah sah aja kan gw bilang ke fakultas ini mahasiswa bukan sekali dua kali ijin seenak jidat trus gw coret kehadiran dia jd kurang dr 70%, gak bisa ujian deh dia, tapi gak lah. Supaya dia inget klu marahnya gw itu masih profesional, dia tetep gw kasih A krn khilaf kan biasa, cuma gw wajib untuk negor supaya gak diulangi ke mata kuliah yg lain.

Gak bisa gw kaya orang lain yg sok tegas, yg nunjukin siapa saya, yg kalau salah tulis nama/gelarnya aja marah, yg pengennya di hargai berlebihan, gw gak bisa, tapi seringkali ke santaian gw sering malah jadi di injek-injek. Kita kan gak harus galak hanya untuk di hormati, kita kan gak perlu show up hanya untuk di hargai. Tapi rupanya sistem disini yg seperti itu justru lebih di segani ketimbang yg monggo monggo aja.

#curhat gegara jadwal dirubah2 #kezellll

Kamis, 04 Agustus 2016

My First Love ♥


Aku tidak ingin membandingkan ayahku dengan sosok ayah orang lain. Sekali-kali tidak. Ayahku tidak sempurna sebagai sosok seorang Ayah, aku harus jujur itu, dia mungkin kurang bisa memerankan figur seorang suami sekaligus ayah bagi istri dan anaknya. Maaf Ayah sekali lagi aku harus jujur engkau tidak sesempurna sosok ayah yg ideal yg aku ketahui. Bahkan aku masih merasa kosong separuh hidupku dari sosok seorang ayah, yg menjadi imam, pelindung, pengayom. Engkau berusaha melakukannya tetapi tidak penuh. Semua itu bukan karena ketidak mauanmu tapi karena ketidak mampuanmu. Dan semua itu sudah ku ketahui alasannya.

Kekosongan dalam hidupku akan peran seorang ayah ideal, akan tetap kosong, tidak akan bisa terpenuhi oleh sosok yg lain, aku pun tidak akan mencari separuh kosong dari hidupku, biarlah terus kosong sampai tiba saatnya kita bertemu lagi. Aku sudah mengikhlaskan. Mencoba memaklumi sebagai keterbatasanmu. Bukankah yg tidak punya bapak sedari kecil bahkan tidak merasa sepersenpun peran seorang ayah? Maka beruntunglah aku jika aku merasakan 55% peran ayah dalam hidup. Mungkin lebih! Aku tau... 45% yang tidak engkau berikan, tak akan mampu ku dapatkan dari orang lain. Tetapi ayah.... aku memahami itu, aku tidak akan menuntut kurangnya.

Kali ini akan kubagi pada khalayak, 55% yang aku dapat darimu. Yang membuat aku bersyukur, sehingga tidak merasa kurang dan kurang karena tidak mendapat yg 45%. Biar malaikat mencatat, biar angin mendengar, biar ombak berteriak, dan biar tulisanku menjadi bukti bahwa keberadaanmu telah mengisi separuh jiwaku, menjadikanmu cinta pertamaku.

Dia... yang menyematkan namanya pada namaku. Yang sepanjang hidupnya tidak pernah menghardik apalagi memukulku, di saat ayah temanku yg lain acapkali mencubit dan tidak segan memukul anak perempuannya. Dialah ayahku yg tidak mau meninggalkan bekas merah di kulit anaknya karena cubitan, karena dia tau itu akan membekas selamanya di hati anaknya.

Dia.... yang sekalipun tidak pernah protes terhadap masakan mamaku, asin, hambar, pedas, kurang lezat tidak pernah ada komentar. Dia tidak pernah meminta hari ini harus masak ini, harus masak itu. Dia tidak pernah komentar rumah berantakan, baju belum di cuci.

Dia... yg selalu menunggu adzan. Sebelum adzan tiba, dia sudah di atas sajadahnya. Yang disaat pagi buta dia sudah harus berangkat kerja. Tidak pernah ku lihat adzan mendahuluinya. Selalu dia bersiap sholat sebelum adzan datang. Dia selalu memakai wewangian sebelum sholat, seperti orang mau kencan. Tidak pernah kulihat sekalipun dia membeli parfum beralkohol.

Dia... yang tidak pernah berhutang. Dia berkata bahwa hindari hutang. Dia yang selalu ramah dan senyum pada semua orang. Aku tidak bisa, terlebih kepada orang yang membenciku.

Aku tidak pernah mendengar langsung dr mulutnya hal negatif tentang orang lain sekalipun. Tidak sekalipun dia bentrok dengan tetangga sekalipun. Dia satu satunya di rumah ini yang selalu positive thinking. Dia humoris walau pendiam. Dia totalitas dalam bekerja.



Sekalipun selama hidupnya, aku tidak pernah mendengar dia menghardik mamaku, jika ada hal yang membuatnya kurang suka, dia hanya diam. Diam lebih dari biasanya dan hanya beberapa jam saja. Disaat mamaku marah hampir setiap hari, sekalipun dia tidak menjawab. Tidak juga pergi. Dia yang sekalipun merasa aku kurang. Jika nilaiku tidak bagus, dia hanya bilang "nilai ini tidak buruk". Kala aku gagal dalam perlombaan, dia hanya tersenyum dan berkata "ikut lomba itu menyenangkan, tidak perduli hasilnya".

Ketika aku di marahi atau di pukul mamah, dia selalu ada disampingku, kadang memelukku. Dan selalu dia berkata "tidak boleh memukul anak, kecuali dia tidak sholat, itupun tidak boleh yg melukai".

Di saat aku beranjak remaja. Tidak banyak percakapan diantara kita. Dia hanya selalu berpesan "doakan orangtua, terutama selepas sholat, jangan tinggal sholat 5 waktu"

Dimasa ibuku hamil adikku, tak kurang semalampun dia sholat malam. Seminggu saja sholat malam berturut-turut aku tidak mampu. Dialah Ayahku. 45% memang tak diberikannya, seperti yang ayah lain berikan pada anaknya. Tapi aku yakin, 55% yang diberikannya padaku, tidak juga dimiliki seutuhnya oleh ayah ayah di luar sana kan? Aku tidak sedang menghitung pemberian ayahku, persentase itu hanya perumpamaan. Sekarang... jika aku berusaha mencari 45% yang tidak aku dapatkan darinya, bukankah aku akan tetap haus? Akan selalu merasa kurang?? Padahal yg 55% yang ia berikan padaku, juga sulit dimiliki para ayah di luar sana. Tidak ada yang sempurna. Aku memang tidak mendapat ayah yang melindungku seperti seorang body guard. Tetapi bukankan ada juga orang lain juga tidak mendapatkan ayah yg tidak pernah marah? Aku dapatkan itu! So... hidup itu adil kan? Tinggal dari sisi mana kita melihat.


Selasa, 26 Juli 2016

Wow... Selamat Ya!





Gw tuh suka seneng bahkan terharu saat tau pasangan yg lama pacaran trus akhirnya menikah. Lebay ya? Di pacarin lama-lama, si ceweknya udah berkorban perasaan, berkorban fikiran, setia, trus akhrinya di nikahin, itu sungguh akhir yg bahagia. Penantian panjang itu berbuah manis. Karena cewek itu cuma bisa nunggu, apa daya kalau cowoknya gak nikahin juga, palingan cewek kasih limit waktu, dalam 2 tahun pacaran gak dinikahin, gw akan putusin dia. Segampang itu? Cewek itu kalau udah cinta, apa aja di korbanin, uang, waktu, tenaga, fikiran. Apa mampu dia mutusin gitu aja padahal rasa cinta udah setinggi gunung, paling juga setelah 2 tahun gak dinikahin, maka diperpanjang limit waktunya, tahun depan deh, kalau gak dinikahin gw putusin, soalnya kalau putus sekarang, gw masih cinta. Tahun depannya begitu lagi. Terus...terus dan terus menunggu dan hingga akhirnya menginjak masa 3,5 tahun...si cowok bilang,

"Sorry, kita ga cocok, aku ngerasa gak layak bahagiain kamu, kamu terlalu baik untuk aku" pretttt... makan tuh singkong busuk!!!

Yaaahhh... gitulah nasib cewek, bisa nolak ratusan cowok se enak jidat tapi cuma bisa nunggu untuk di nikahin seorang pria.

Makannya pas denger (sebut aja inisialnya Luna Maya) bakal di nikahin segera oleh pacarnya, waahhhh seneng banget gw dengernya, ikut ngerasain kebahagian luna, sampe rasanya mau bilang ke pacarnya Luna 'makasih ya kamu akhirnya mau menikahi luna juga, kasih happy ending buat love storynya' aaaahhhh lebay banget gw, begitu juga dulu saat titi kamal sama siapa tuh suaminya.... nikah, seneng juga dengernya. Ada juga sih temen gw yg pacaran lama, putus nyambung putus nyambung but finally mereka menikah. Bahagia!



Ini bukan tanpa alasan. Gw sendiri ngalamin yg namanya pacaran lumayan lama, dinikahin engga! Susah tuh buat move on. Sekalinya dapet, pacaran lagi...lama lagi, ditinggal bhay gitu aja. Move on nya susah, maksa dapet lagi yg baru, pacaran lagi, tunangan berdua (ye masa bertiga sama setan?) Mau nikah...bentar lagi nih, eh ada cewek sms dari negara sebrang kalau ngaku jadi pacar barunya dan drama banget deh, ujung2nya ditinggal nikah. So wajarlah kalau gw liat orang2 yg gw kenal baik secara dekat atau tak kasat mata (dedemit emangnya?) Mereka akhirnya ke pelaminan. Bahagiaaaaaa deh dengernya. Apalagi gak lama terus punya anak. Gw ikut mendoakan mereka bahagia sampe ajal menjemput mereka. Kalau gw sendiri karena udah berkali2 patah hati, jujur gw udah lupa namanya jatuh cinta. Kalau ada cowok perhatian dikit pasti gw bilang : ngapain lo nanyayin gw udah makan belom tiap hari, lo kirimin PHD yg full keju kalau emang niat! Atau bilang ... sayang...sayang... kenal aja belom, beneran sayang? Kebetulan nih, gw lagi mau beli camera, lo transfer duit ya, baru deh gw percaya lo sayang gw!

Udah mencoba realistis aja. Dulu gw mencurakan 90% cinta gw, malah ujungnya sakit hati. Sekarang mah urusan cinta? Nanti dulu, lo buktiin aja deh kirim duit ke gw, delivery order makanan, atau kirim paket tas chanel baru gw percaya. Udah gak mempan deh seusia gw masih "udah maem eyum?" "Udah bobo eyum" ntar gw jawab "udah pernak keselek bakiak belom?"

Rumah Ini Bukan Tempatku!

I am not happy here. I am not happy in my own home. Broken inside. Sebetulnya sejak mei gw udah merendahkan ego gw dengan gw pulang ke rumah. 10 tahun gw tinggal terpisah, gw mau balik dan tinggal di rumah lagi. Gak ada yg salah dengan tinggal di rumah. Tapi alasan dulu gw gak kembali ke rumah saat lulus kuliah adalah gw gak menemukan kebahagiaan disini. Hidup di bawah tekanan dan aturan yg gak jelas asal usulnya dan lebih karena adat/kebiasaan. Gw cape dengan hidup seperti itu.
Gw bisa nyanyi, bisa bikin videos adalah saat gak ada orang rumah atau dengan diam2. Nyokap gw gak suka gw nyanyi. Nyokap gw gak pengen tetangga tau gw ada di rumah ini. Kalau berangkat ngajar, gw harus mastiin di luar gak ada orang. Begitupun pulang ngajar, nyokap biasanya sms/telp ada atau gak ada orang di luar. Kalau pas ada orang, gw disuruh pulang abis maghrib pas orang2 udah masuk rumah.

I was so sick with this. Apa masalahnya kalau tetangga liat gw? Akibatnya gw ga bisa keluar rumah leluasa. Saat gw udah berpakaian rapih, trus mau keluar nyari makan, mamah tiba2 ngelarang gw keluar karena ada tetangga yg lagi cuci motornya di luar. Atau tetangga yg sedang diri depan rumahnya. Akhrinya batal keluar. Ini berlangsung terus menerus. Saat gw udah rapih mau ke mall dilarang lagi keluar karena ada orang di luar. Apa ini? Akhirnya sejak sebulan belakangan ini gw gak peduli, gw tetep keluar meski mamah ngelarang. Gw akan bilang gw akan baik sama orang, gw akan sapa dan senyum. Masalah itu dihadapi kan? Bukan di hindari? Masalah mereka mau bicara buruk tentang gw, itu masalah mereka. Mereka bisa tetep ngomongin gw meski gak liat gw. Alasan mamah adalah gak mau orang nanti bicara yg engga engga tentang gw kalau berpapasan atau ngeliat gw. Mamah pikir dengan mereka gak liat gw bakal menyetop mulut mereka bicara? No!

Itu hanya rasa takut dan negative thinking mamah. Toh faktanya saat gw ramah sama mereka mereka mau senyum sama gw. Urusan setelah itu mereka mau nyinyir silahkan aja. Gw memang ga sempurna. Tapi gw kan gak nganggu mereka. Gimana bisa anak yg hamil di luar nikah bisa bebas keluar masuk rumahnya tanpa rasa takut atau malu sama tetangga? Gw gak melakukan kesalahan toh kenapa harus takut keluar rumah? Masalah jodoh belum menikah itu semua orang tau, hanya Tuhan yg menentukan. Kalau gak suka melihat gw masih sendiri, ada baiknya di doakan kan? Bukan di nyinyirin. Atau menggungat Tuhan! Tanya kenapa sari belum nikah sampai sekarang, dan jika itu menjengkelkan, gw mohon maaf. Gw juga pengennya bisa jalan ke luar rumah sambil menggandeng suami. But ... what can i do? Gw belum seberuntung anak2 mereka yg sudah di peristri. Alasan kenapa gw tetep bisa ngajar, bisa keluar rumah dengan wajah ramah dan senyum. Karena gw mau menikmati hidup yg sudah diberikan Tuhan dengan atau tanpa suami. Gw harus merasa bahagia dengan diri sendiri, bukan merasa menderita karena belum bersuami.

Coba lihat betapa banyak gadis beruntung yg menikah muda lantas tidak bahagia dengan pernikahannya. Gw...walaupun belum sempurna krn belum bersuami dan beranak tapi gw selalu mensukuri hidup ini. Gw kerja tidak harus panas2an, saya kerja dengan rekan2 yg menghormati saya meski tau saya belum berkeluarga, saya merasa blessed karena wajah saya terlihat lebih muda dari usia saya, karena itu rekan2 saya mengira wajar saya belum nikah karena mereka kira saya masih muda. Well... hidup ini singkat. Jika gw balik lagi ke gw...tidak bahagia hanya karena belum berumah tangga dan itu menjadi gerak kita terbatas, rugi! Mengapa seluruh kebahagiaan itu di tukar hanya untuk 1 hal yaitu pernikahan?

Banyak sekali hal yg bisa bikin kita bahagia. Kalau ada orang bicara kok bisa ya di usia setua itu belum menikah tapi sari masih terlihat happy aja? Jawabnya cuma satu, gw gak mau menderita atas segala ribuan nikmat tuhan hanya karena 1 hal yg belum gw dapatkan, yaitu menikah. Kenapa gw harus sedih? Menderita hanya krn belum nikah? Sementara Tuhan kasih gw 1001 cara untuk bahagia. Kenapa?

Di rumah ini yg katanya orang2nya wise dan open minded. Yg katanya bisa meraih gelat doktoranda di jaman orang masih jarang lulus S1...sayang banget termakan omongan mereka yg kuliah aja ga pernah. Mengorbankan kebahagiaan gw untuk menutup mulut mereka. Mom...they're not going to shut up their mouth. Even nanti i get married. Mereka akan tetap bicara kenapa belum punya anak? Dan itu hal yg biasa, yg seharusnya kita biarkan mereka mau bicara apa. Kehidupan mereka sudah sempurna, punya suami, punya anak biarkan sesuka hati mereka ngurusin hidup orang. Nah biarin sari menyempurnakan dan fokus sama hidup sendiri. Kenapa jadi ngurusin omongan orang ttg kita? Tentang gw maksudnya. Kita gak bisa ngelarang orang benci kita dan gak bisa maksa cinta kita. Yg bisa kita lakukan adalah cintai diri sendiri.

Kalau gw dianggap beban di rumah ini, aib keluarga. Biarkan gw hidup sendiri lagi, terpisah seperti dulu. Itulah alasan mengapa gw memutuskan hidup terpisah. Lo bisa ga bayangin pengen punya hidup dimana lo bisa jadi payung keluarga tp yg ada malah jadi benalu di keluarga, sedih gak lo? Bahagia gak lo? I was not me anymore since gw gak merasa terlindungi di rumah sendiri.