foto kepala

Translate

Kamis, 08 September 2016

SAYA SESAT


Galau... bimbang.

Sayang sekali saya kuliah agribisnis. Mungkin kalau ada kesempatan saya ingin kuliah filsafat atau psikologi, mungkin saya akan mendapatkan jawaban-jawaban atas segala yg terjadi dalam kehidupan. Di dalam keluarga saya, mungkin hanya saya dan alm ayah saya yg kata orang 'nyleneh' tapi buat saya kita berdua itu out of the box alias anti mainstream. Sayang ayah saya meninggal disaat saya masih buta atas dunia sehingga kita tidak pernah bertukar pikiran.

Masa remaja dan dewasa saya di bawah didikan mamah yg notabene seperti orang pada umumnya, jalan di tracknya, lempeng-lempeng aja, ngikut aja apa kata orang pada umumnya, buat saya itu membosankan. Ada kalanya kita harus berbeda dg orang lain jika kita yakin kita benar. Kenapa harus selalu on track jika kita tau ada jalan lain menuju Roma? Hanya karena ingin dibilang waras?

Ada banyak pemikiran-pemikiran saya yang orang sekitar saya tidak mengerti, mereka namakan "sesat cara berfikir" tidak ada satu pihak pun setuju dg pemikiran-pemikiran saya. Sehingga lambat laun saya mulai berfikir maybe they are right. Something wrong in me, saya nyleneh. Saya tidak serta merta diam. Kami mengunjungi ustad, berkonsultasi, hampir sama, ustad pun tidak bisa mengerti jalan pikiran saya, saya ingin berkonsultasi dg kyai, tapi bukan yg seumur hidupnya hanya di pesantren tanpa tau dunia luar. Tapi belum ada kesempatan, saya hanya sempat mengikuti kajian-kajian para kyiai yg bergelar doktor, dan saya terperangah, mereka ternyata open minded, tidak kaku dalam berfikir. Apa-apa yg mereka sampaikan, itu cocok dg pemikiran saya. Mereka bukan bicara pakem-pakem, adat atau tradisi turun temurun yg harus dipatuhi dan tabu bila dilanggar. Well...saya sedikit bahagia bahwa saya bukan nyleneh, bahwa ada orang yg berfikiran seperti saya. Berarti saya waras.

Namun sayangnya saya tidak tinggal dg kyiai yg alim (ilmu dunia maupun agamanya) yang open minded itu, faktanya saya tinggal dg keluarga yg hidup berdasarkan pakem-pakem tradisi yg berlaku di Indonesia, sehingga tetap saja saya tergolong orang 'sesat' diantara mereka. Saya tidak sesat...mungkin kalian yg tidak mengerti saya, yg tidak bisa melihat perbedaan. Saya pun kembali menjadi orang sesat.

Hingga di hari ini saya bertemu dg dokter jiwa. Saya ceritakan siapa saya. Satu hal penting menjadi kunci dalam hidup adalah mengenali diri sendiri. Dari hasil tes jiwa dikatakan saya tidak bisa komitmen dengan aturan-aturan yg ada. Saya jelaskan itu benar. Ada satu pernyataan dalam tes :

Anda merasa lebih bahagia jika aturan-aturan dihilangkan

Jawabannya hanya (-) atau (+). Minus artinya bukan saya banget, dan plus artinya saya banget (setuju), pertanyaan ini kerap muncul di psikotest. Dulu saya selalu menjawab (-) artinya aturan memang harus ada. Hidup itu memang ada aturannya. Pertanyaan ini tidak jelas, aturan yg mana? Yg prinsip? Tradisi? Kali ini saya beranikan menjawab (+) artiny saya banget, tapi ada tanda *). Aturan apa? Jujur saya muak dg aturan yg dibuat manusia tanpa tujuan yg jelas, atau tradisi-tradisi yg tidak masuk akal, atau pakem dan dogma yg dipaksakan harus diterima seperti : perempuan tidak boleh diri di pintu, why? Perempuan tugasnya ngurus keluarga, nyuci, nyapu, masak dll adalah tugas mutlak wanita, why? Dimana itu aturan ditulis? Siapa yg bilang? Lantas lelaki kerja cuma cari duit? Atau kita sholat harus selalu di masjid/mushola/rumah. Lantas ketika saya sholat di jalan yg tidak mengganggu orang lain, kemudian itu salah? Atau saya harus pakai sepatu hitam saat bekerja/sekolah tanpa alasan yg jelas, hanya disebut sebagai 'itu aturannya!'. Ketika saya pakai pink dan itu membuat saya lebih percaya diri sehingga kerja lebih semangat, apa saya salah? Atau aturan tidak boleh makan minum selama kuliah? Well...honestly saya membolehkan itu di kelas saya, apalagi kelas pagi. Mungkin ada yg belum sarapan. Gimana mau fokus kalau perut kosong? Saya juga tidak protes jika mereka pakai sendal di kelas saya. Itu tidak penting. Hal-hal seperti itu dianggap orang umumnya melanggar? Kenapa? Kalau mereka memalsukan tanda tangan, tidak mengerjakan tugas yg saya berikan, itu bagi saya pelanggaran. Tapi baju, kostum, selama itu sopan, tidak mengganggu pelajaran dan bukan esensial, why not? Tanya dosen-dosen senior jaman dulu. Apa dijaman mereka ada aturan berbusana ke kampus? Pake sendal tidak boleh? Saya dengar dengan telinga saya sendiri, salah satu dosen senior saya yg merupakan orang berpengaruh di kampus, di jamannya tidak ada aturan itu. So...baik/tidak baik, sopan/tidak sopan menjadi sangat relatif.

Di Australia, ada anak sekolah diwarnain rambutnya (kebetulan murid mama saya pernah tinggal di aussie, dia yg cerita ini) tapi apa kata gurunya? Awesome, nice! Coba disini? Kalau gak dibilang sarab, cabe-cabean, gendeng, alay, tidak tau aturan. Saya punya teman seorang guru matematika di Canada, dia cerdas tapi dia bertattoo, saya tanya apa itu tidak mengganggu/merusak kredibilitas dia sebagai pengajar? Tidak menjadi masalah? Dia balik bertanya, apa masalahnya? (Terlepas dr aturan agama Islam). So ... sopan/tidak sopan sangat relatif dan menjadi tergantung jaman. Itulah yg saya maksud saya muak dengan aturan, dogma, tradisi yg sama sekali bukan esensi, bukan fatal. Itulah yg saya katakan pada dokter bahwa benar saya tidak suka berkomitmen dengan aturan seperti itu, dan karena itulah saya dikatakan sesat. Saya akui ada hal yg saya ketahui benar dalam agama tapi belum saya jalankan dan saya tau itu berdosa. Saya akan berproses untuk itu dengan kerelaan saya akan melakukannya. Tapi hal-h yang dimana agama tidak mengatur dan hanya menjadi tradisi, dogma yg berlaku di masyarakat, jika itu tidak sesuai dg hati nurani, saya tidak akan pernah mau melakukannya. Terserah saya dianggap sesat.

Hal-hal semacam itu tidak bisa diterima oleh keluarga saya, lingkungan sekitar saya. Sehingga kadang saya terpaksa menjadi orang lain agar hanya di angggap saya sama seperti mereka. Dan ini sungguh menyiksa, berpura-pura, padahal saya tidak suka. Tidak ada yg mengerti jalan pikiran saya, membuat saya frustasi, dan akhirnya menyerah sehingga saya mulai menilai diri saya sesat adanya. Hingga saya bertemu dokter jiwa hari ini. Saya lega bisa jujur, saya merelakan beliau menilai saya sesat, karena beliau ahlinya, jika beliau katakan saya abnormal, saya bisa apa? tapi ternyata tidak, saya menemukan orang ahli jiwa yg sepemikiran dg saya, bahkan jauh out of the box dari saya. Well...saya tidak sesat, come on... ini ada spesialis jiwa yg bisa membenarkan pemikiran saya. Ini membuat saya tenang. Bahkan masalah spiritual yg hanya kita dg Tuhan yg tau, beliau ajarkan pada saya, dan saya sangat sependapat. Thank God, pada akhirnya ada yg benar-benar mengerti pemikiran saya.

Tiba saya di rumah. Kembali dg keluarga. Saya ceritakan pengalaman saya, kembali mereka tidak sepemikiran. Saya kembali ragu, jangan-jangan dokter tadi hanya membesarkan hati saya? Jangan-jangan dalam hati kecilnya beliau berprasangka sama, bahwa saya sesat? Ini suudzon. Saya berdosa berfikiran buruk. Tidak! Saya tidak sesat. Saya punya bukti bahwa score saya adalah 6 masuk dalam kondisi sedang. Artinya tidak ada yg salah dg jiwa saya. Tidak ada yg salah dg cara berfikir saya. Saya pinjam kata-kata Ahmad Dhani "kalian cuma belom sampe pemikirannya di level saya" hehe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar