foto kepala

Translate

Sabtu, 11 Mei 2013

Rubah Nasib Sekarang !!!

Dulu jaman Kuda makan cendol, jaman masih ababil (anak baru labil), jaman masih alay deh... yaitu jaman masih S1, gw punya sohib yang asik banget. Dia ini "akhwat gaul" kalau menurut gw, jilbabnya lebar, wawasannya luas, wajahnya manis, maklum mojang Bandung. Namanya Siti Ade Fatimah. Siapa yang gak kenal Ende, begitu dia dipanggil. Orangnya supel bergaul, jilbab tidak membatasinya dalam pergaulan, dia punya banyak teman pria dan wanita, dia disukai banyak orang karena kepribadiannya, selain cerdas, Ende juga sangat ramah, rajin senyum, malah terkesan boros ketawa.

Kebanyakan temen akhwat yang gw kenal itu kaku dalam bergaul, terlalu banyak koridor yang membatasi dirinya, bahkan terkesan ekslusif (hanya mau gaul sama jilbaber lagi), tapi Ende mampu mematahkan asumsi itu, bahwa dia adalah dia, dia muslimah yang nyentrik, energik, dan punya sense of humor yang tinggi, gak akan bosen kalau deket dia, mau ngebahas apa? politik? dia ngerti, ekonomik? dia paham. Syariah?? dia jagonya. Sosial? dia bukan cuma pinter berteori sosial tapi juga praktek.



Pada kesempatan ini gw bukan mau ngebahas detil sosok Ende, tapi fakta lain yang gw peroleh karena bergaul dengan Ende. Ini sekaligus pembuktian bahwa Ende punya jiwa sosial yang tinggi. Suatu ketika, disore hari yang mendung, Ende sms ngajakin ngajar anak jalanan. Saat itu paling enak rebahan di kasur sambil denger musik, tapi sms yang "menggangu" gw itu mau tidak mau gw jawab "Ok", dengan rasa males campur terpaksa, gw akhirnya memenuhi ajakan Ende. Sore itu kami berangkat ke Ciheuleut, daerah Universitas Pakuan kesana lagi. O.M.G gw kira kita akan ngajar anak jalanan di suatu tempat yang sudah di desain sedemikian rupa dan anak-anak jalanan itu yang datang ke tempat itu, ternyata bukan, Ende memilih untuk datang langsung ke pemukiman mereka, dan pemukiman itu gak layak disebut pemukiman, kumuh banget. rumah kecil-kecil saling berhimpitan dan jalan yang becek bahkan bau. Tapi gw heran sama Ende, kondisi itu gak menyurutkan langkahnya, dia malah makin semangat saat tiba di lokasi. Beruntung ada salah seorang warga yang menyediakan bagian rumahnya untuk dipake ngajar.



Anak-anak disana gak ada yang bersih, pakaiannya kucel, terus nakal-nakal, pada gak bisa diem, itu kesan pertama yang gw dapet. Susah banget ngajarin mereka untuk duduk disiplin, teratur. Kebanyakan mereka berusia SD, dan kebanyakan sebagai pengamen atau tukang sapu di kereta ekonomi jabodetabek. Kita saat itu hanya mengajar bedua saja, aku dan Ende, kelas pun di bagi dua, yang anak kecil-kecil sama gw, dan yang sudah besar sama Ende. Gw sempet dibuat kesel karena ada anak yang dikasih soal termudah aja dia gak bisa, segitu udah gw ajarin dengan metode semudah mungkin dia juga tetep gak ngerti, ujung-ujungny males ngerjain soal, ada juga anak yang dari mulai pelajaran sampai selesai bercanda terus, ngeganggu temannya, gw sampe pusing, tapi gw lihat Ende gak ada kebosanan dalam dirinya, Ende tetep aja mengajar mereka dengan sabar. Akhirnya gw berfikir, masa gw kalah sama kondisi seperti ini, masa ini bocah-bocah yang kontrol gw? Gw yang harus ngontrol mereka, akhirnya gw melunakkan sedikit hati dan pikiran gw, bagi mereka bekerja adalah hal utama, gak kerja sehari artinya gak makan, sementara mereka udah mau belajar ditengah-tengah kesibukan mereka cari makan aja itu udah bagus, jangan sampai ada kesan yang mereka tangkap bahwa belajar itu membosankan, mending cari duit. Akhirnya gw coba merangkul mereka dengan cara bukan ngajarin tapi main sambil belajar, hasilnya ada 1 anak perempuan dia malah ketagihan dikasih soal. Suasana belajar yang tadinya formal dan kaku, sekarang lebih relax. Gw mulai menyukai mereka, dan mereka sepertinya menyukai gw juga. Namun saat musim ujian tiba gw mulai jarang dateng ngajar, sementara Ende biar kata angin ribut, hujan halilintar gak pernah menyurutkan semangatnya untuk ngajar. Salut!!!!

Kehidupan anak-anak jalanan itu memang gak seberuntung gw saat seusia mereka. Bayangin tangan mereka yang masih kecil harus mengais rejeki di jalanan, mereka terpaksa kerja dijalanan untuk bantu keluarga mereka. Badan sampai kucel, rambut sampe pirang karena terjemur matahari di jalanan. Tapi mereka tetap seorang anak kecil, senyum dan tawa riang mereka sebagai anak kecil sama seperti anak-anak kecil lainnya. Banyak juga dari mereka yang putus sekolah karena gak mampu bayaran. Miris memang. Sejak saat itu gw bertekad kapanpun Ende ajak gw kesini lagi, gw akan usahakan. Tawa polos mereka bagaikan magnet yang menarik gw untuk datang lagi.

Waktu perjalanan dari Depok ke Bogor, gw pake Bus Depok-Bogor, di lampu merah naik 2 anak kecil ngasih amplop ke setiap penumpang termasuk gw, dan saat mereka nerima amplop gw, mereka bilang "Kak Sari ya" gw mengagguk sambil tersenyum, gw sematkan selembar kertas di dalam amplop. Kadang kita menyalahkan kemana orangtuanya sampai anak-anak usia sekolah ini kok malah keluyuran di jalan cari uang.  Padahal orang tua mereka bukan cuma duduk santai tunggu uang setoran, tapi mereka juga kerja, meski kerja serabutan, ada yang buruh cuci, kuli bangunan, jualan gorengan dan sebagainya.

Gw berfikir... hidup mereka memang tidak seberuntung kita, tapi mereka dan semangatnya untuk maju harus diacungi jempol. Dari hati kecil mereka, mereka sangat ingin bersekolah, walau hanya belajar yang sifatnya informal tapi mereka mau mengikuti, mereka berhak mendapatkan pendidikan yang layak karena mereka aset bangsa. Kondisi mereka menjadi pecut bagi hidup gw, kita yang sudah dianugrahi Allah dengan banyak kesempatan mengenyam pendidikan bahkan di tempat yang bonafid harus lebih maksimum lagi outputnya, harus lebih banyak bersyukur. Mereka itu bagai cermin sekaligus cambuk bagi diri kita. Trimakasih buat Ende yang telah menorehkan warna manis dalam hidup gw. Semoga Allah senantiasa melindungimu kawan. Berharap di negara ini punya 100 orang sepertimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar