jika menikah bukan lagi kebutuhan tapi tuntutan (umur dan lingkungan sosial) maka harapan-harapan di masa depan seolah sirna dan kehilangan esensinya, yg ada hanya 1 : status. Sementara pengorbanan untuk membeli status menjadi Nyonya A belum tentu terbayarkan oleh pernikahan itu sendiri. Lantas apa mereka (lingkungan sosial) mau peduli atas pernikahan kita setelahnya? begitu naif hanya karena omongan mereka maka hidup tidak jelas lagi kemana rimbanya, yg penting nikah, yg penting nutup mulut mereka, yg penting kuping gak panas denger mereka bicara. Peduli setan dengan mereka. Toh mulut mereka tidak akn berhenti berbicara apapun yg terjadi dg kita. Bahagia salah, susah lebih salah lagi dimata mereka. Apakah hidup kita untuk mereka?? tentu tidak.
Lihat bagaimana anak mereka menikah, pernikahan tanpa planning, punya anak banyak tanpa dukungan finansial, akhirnya gali lobang tutup lobang. Nyusahin orang tua juga akhirnya. Bukankan aku lebih bahagia dari mereka yg kata mereka aku ini sangat kasihan?? itulah realita kehidupan sosial di negara ini, ketika tuntutan hidup bukan lagi berdasar atas kebutuhan diri sendiri tapi desakan sosial. Mereka-mereka itulah sepantasnya hidup di hutan bersosialisasi dg binatang. Menjadi lucu ketika mereka merasa lebih tau dari pada aku yg akan menjalani. Menjadi naif ketika mereka memaksakan secara tidak langsung seseorang akan tujuan masa depannya. Ini Gila, cuma 2 pilihannya, kalau tidak kuat maka aku yg gila, atau kuatkan diriku sendiri karena mereka sudah gila sejak lahir. Hahahahaha
Beruntunglah aku orang yg bebal atas omongan-omongan orang, karena bagiku 1, mereka sudah kalah telak sejak aku dilahirkan ke dunia, bukan sombong tapi fakta membuktikan, mereka yg begitu amat mudah memojokkan aku, sesungguhnya merekalah yg merasa terusik dg kehadiran diriku, sementara aku-nya nyantai aja. Bagiku orang lain itu bagai buih di lautan, semakin banyak mereka bermunculan di permukaan, maka hidupnya tidak lebih hanya sebatas buih, apalah arti buih? sementara sahabat, yg tidak serta merta mengarahkan hidup kita ke suatu titik entah itu pernikahan, karir, apapun, pasti jelas dg dalil yg bisa dipertanggung jawabkan yaitu untuk kebahagiaan kita, merekalah mutiara yg terpendam dilautan, mendapatkan merekapun amatlah susah.
Amat sangat najis bagiku mendengar apa yang orang lain katakan, teutama mereka yang tidak punya kontribusi apa-apa dalam hidupku. Amat sangat haram bagiku mengambil keputusan dalam hidup atas masukan mereka yang tidak berkontribusi apapun dalam hidupku. Iya, haram hukumnya. Maka aku akan sangat tertawa terbahak-bahak ketika mereka dg gayanya yang gerilya (terselubung) memaksa aku ke suatu titik sesuai pola pikirnya? Dia gila atau aku yg gila? Hey ini hidupku, urus saja hidupmu sendiri, lihat cucu-cucumu yang lahir bodoh karena kurang suply susu yang anakmu kawin karena udah kebelet nikah atau juga nurutin omongan masyarakat, sementara anakmu itusecara finansial belom mapan.
"Anak saya nikah dengan Kepala sebuah Bank Pemerintah, dia bahagia, tidak kekurangan apapun" itu dalihmu. Hey bapak tua, benarkah anakmu bahagia?? Kalau begitu aku senang mendengarnya karena artinya jika orang bahagia dia tidak akan mengganggu ketentraman orang lain, betul kan? Tapi kenapa ya, setiap bertemu aku, anakmu itu masih saja memicingkan matanya, menakikkan sedikit bibirnya, padahal dia sekarang punya lebih dari aku, anak, suami pejabat, harta? kok masih gak bisa menyunggingkan senyum meski sedikit ke aku? Rupanya dia lupa bahagia itu apa? itu menandakan hatinya masih tidak jauh lebih bahagia dari aku. Hahahaaaa.... makan tuh pernikahan yg dijodohkan dengan orangtuamu. Bolehlah kamu punya suami pejabat, semetara aku siapa??? tapi bukankan aku lebih bahagia dari kamu? hingga senyum aku pun dibalas dg bibir sedikit nyerong, hatimu masih mengatakan aku jauh lebih bahagia dari kamu. Makannya gak akan ada kepuasan kalau tujuan hidupmu akibat aturan orang lain. Okelah kamu nurut karena aturan orangtuamu. itu bagus. Tapi orang tuamu itu ngambil keputusan nikahin kamu karena desakan sosial masyarakat sini yg merasa lebih jago. Saya harus nikahin anak saya secepatnya dengan pejabat ini karena akan dipandang oleh masyarakat. Harus cepat-cepat dinikahkan karena omongan masyarakat udah gak enak, sering gonta ganti pasangan tapi belum nikah juga. Makan tuh masyarakat jahiliyah. Hahahaha
Kalau mau dengerin omongan masyarakat, disaring dong, orang yg intelek gak akan serta merta ngatur hidup orang lain. Ngoceh sana sini gak karuan seolah paling tau hidupnya orang lain. Ahhhhhhh... Haram bagi gw denger pendapat mereka. Ente bahlul hahahahahaha
Sayangnya momy... dirimu lemah, mau saja digilas oleh omongan-omongan mereka yg tidak bertanggung jawab. Gak sanggup tutup mata tutup telinga. Kemakan omongan mereka juga, sehingga desakan menikah terhadapku bukan lagi atas dasar kebahagiaanku tapi untuk menutup omongan miring mereka. Duh Gusti. Mengapa mereka lebih tau dari aku? Kalau aku mau asal nikah aja sudah dari dulu mungkin. Tapi menikah itu tidak mudah. Kita bukan cuma cari terong untuk menghadirkan seorang bayi. Maaf ya rada ceplas ceplos ngomongnya. Kta bukan cuma cari otak tumpul untuk menjadi imam kita dunia akhirat. Kita bukan cuma cari status. Nyari keturunan mah tinggal ngejablay aja satu malam, pilih yg ganteng rupaya biar anak ikutan ganteng. kalau nyari yg bisa nafkahin secara materi mah jadi simpenan pejabat aja. Kalau nyari status sebagai nyonya, banyak kok yg bersedia kawin kontrak atau legal tapi ntar cari duit sendiri, mereka yang momong baby. Istri sampe jadi TKW, hampir diperkosa, eh uang kiriman dari istri dipake buat "tidurin" cewek lain. Banyak kalau mau cari laki-laki yang begitu, Tapi kita mau cari imam, bukan sekedar punya terong atau layak secara finansial. Lebih dari itu. Dialah yg nantinya akan mendukung setiap tujuan hidup kita jika dirasanya itu baik untuk kita dan dialah pula yang akan membenarkan kita disaat seluruh dunia menyalahkan kita, dialah yang nantinya rela hidup dengan kita setelah cantik kita hilang, tubuh kita melar, rambut sudah putih. Dialah yang nantinya di tanya sama yg Kuasa kenapa kita begini begitu.
So... mau cari terong mah gampang. Mau cari yg berduit mah gampang. Yang susah adalah imam, maka begitu naifnya ketika berondongan tekanan sosial memaksa kita menikah akhirnya hanya cari terong dan status. Najis.
Lihat bagaimana anak mereka menikah, pernikahan tanpa planning, punya anak banyak tanpa dukungan finansial, akhirnya gali lobang tutup lobang. Nyusahin orang tua juga akhirnya. Bukankan aku lebih bahagia dari mereka yg kata mereka aku ini sangat kasihan?? itulah realita kehidupan sosial di negara ini, ketika tuntutan hidup bukan lagi berdasar atas kebutuhan diri sendiri tapi desakan sosial. Mereka-mereka itulah sepantasnya hidup di hutan bersosialisasi dg binatang. Menjadi lucu ketika mereka merasa lebih tau dari pada aku yg akan menjalani. Menjadi naif ketika mereka memaksakan secara tidak langsung seseorang akan tujuan masa depannya. Ini Gila, cuma 2 pilihannya, kalau tidak kuat maka aku yg gila, atau kuatkan diriku sendiri karena mereka sudah gila sejak lahir. Hahahahaha
Beruntunglah aku orang yg bebal atas omongan-omongan orang, karena bagiku 1, mereka sudah kalah telak sejak aku dilahirkan ke dunia, bukan sombong tapi fakta membuktikan, mereka yg begitu amat mudah memojokkan aku, sesungguhnya merekalah yg merasa terusik dg kehadiran diriku, sementara aku-nya nyantai aja. Bagiku orang lain itu bagai buih di lautan, semakin banyak mereka bermunculan di permukaan, maka hidupnya tidak lebih hanya sebatas buih, apalah arti buih? sementara sahabat, yg tidak serta merta mengarahkan hidup kita ke suatu titik entah itu pernikahan, karir, apapun, pasti jelas dg dalil yg bisa dipertanggung jawabkan yaitu untuk kebahagiaan kita, merekalah mutiara yg terpendam dilautan, mendapatkan merekapun amatlah susah.
Amat sangat najis bagiku mendengar apa yang orang lain katakan, teutama mereka yang tidak punya kontribusi apa-apa dalam hidupku. Amat sangat haram bagiku mengambil keputusan dalam hidup atas masukan mereka yang tidak berkontribusi apapun dalam hidupku. Iya, haram hukumnya. Maka aku akan sangat tertawa terbahak-bahak ketika mereka dg gayanya yang gerilya (terselubung) memaksa aku ke suatu titik sesuai pola pikirnya? Dia gila atau aku yg gila? Hey ini hidupku, urus saja hidupmu sendiri, lihat cucu-cucumu yang lahir bodoh karena kurang suply susu yang anakmu kawin karena udah kebelet nikah atau juga nurutin omongan masyarakat, sementara anakmu itusecara finansial belom mapan.
"Anak saya nikah dengan Kepala sebuah Bank Pemerintah, dia bahagia, tidak kekurangan apapun" itu dalihmu. Hey bapak tua, benarkah anakmu bahagia?? Kalau begitu aku senang mendengarnya karena artinya jika orang bahagia dia tidak akan mengganggu ketentraman orang lain, betul kan? Tapi kenapa ya, setiap bertemu aku, anakmu itu masih saja memicingkan matanya, menakikkan sedikit bibirnya, padahal dia sekarang punya lebih dari aku, anak, suami pejabat, harta? kok masih gak bisa menyunggingkan senyum meski sedikit ke aku? Rupanya dia lupa bahagia itu apa? itu menandakan hatinya masih tidak jauh lebih bahagia dari aku. Hahahaaaa.... makan tuh pernikahan yg dijodohkan dengan orangtuamu. Bolehlah kamu punya suami pejabat, semetara aku siapa??? tapi bukankan aku lebih bahagia dari kamu? hingga senyum aku pun dibalas dg bibir sedikit nyerong, hatimu masih mengatakan aku jauh lebih bahagia dari kamu. Makannya gak akan ada kepuasan kalau tujuan hidupmu akibat aturan orang lain. Okelah kamu nurut karena aturan orangtuamu. itu bagus. Tapi orang tuamu itu ngambil keputusan nikahin kamu karena desakan sosial masyarakat sini yg merasa lebih jago. Saya harus nikahin anak saya secepatnya dengan pejabat ini karena akan dipandang oleh masyarakat. Harus cepat-cepat dinikahkan karena omongan masyarakat udah gak enak, sering gonta ganti pasangan tapi belum nikah juga. Makan tuh masyarakat jahiliyah. Hahahaha
Kalau mau dengerin omongan masyarakat, disaring dong, orang yg intelek gak akan serta merta ngatur hidup orang lain. Ngoceh sana sini gak karuan seolah paling tau hidupnya orang lain. Ahhhhhhh... Haram bagi gw denger pendapat mereka. Ente bahlul hahahahahaha
Sayangnya momy... dirimu lemah, mau saja digilas oleh omongan-omongan mereka yg tidak bertanggung jawab. Gak sanggup tutup mata tutup telinga. Kemakan omongan mereka juga, sehingga desakan menikah terhadapku bukan lagi atas dasar kebahagiaanku tapi untuk menutup omongan miring mereka. Duh Gusti. Mengapa mereka lebih tau dari aku? Kalau aku mau asal nikah aja sudah dari dulu mungkin. Tapi menikah itu tidak mudah. Kita bukan cuma cari terong untuk menghadirkan seorang bayi. Maaf ya rada ceplas ceplos ngomongnya. Kta bukan cuma cari otak tumpul untuk menjadi imam kita dunia akhirat. Kita bukan cuma cari status. Nyari keturunan mah tinggal ngejablay aja satu malam, pilih yg ganteng rupaya biar anak ikutan ganteng. kalau nyari yg bisa nafkahin secara materi mah jadi simpenan pejabat aja. Kalau nyari status sebagai nyonya, banyak kok yg bersedia kawin kontrak atau legal tapi ntar cari duit sendiri, mereka yang momong baby. Istri sampe jadi TKW, hampir diperkosa, eh uang kiriman dari istri dipake buat "tidurin" cewek lain. Banyak kalau mau cari laki-laki yang begitu, Tapi kita mau cari imam, bukan sekedar punya terong atau layak secara finansial. Lebih dari itu. Dialah yg nantinya akan mendukung setiap tujuan hidup kita jika dirasanya itu baik untuk kita dan dialah pula yang akan membenarkan kita disaat seluruh dunia menyalahkan kita, dialah yang nantinya rela hidup dengan kita setelah cantik kita hilang, tubuh kita melar, rambut sudah putih. Dialah yang nantinya di tanya sama yg Kuasa kenapa kita begini begitu.
So... mau cari terong mah gampang. Mau cari yg berduit mah gampang. Yang susah adalah imam, maka begitu naifnya ketika berondongan tekanan sosial memaksa kita menikah akhirnya hanya cari terong dan status. Najis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar